Sistem pendidikan paling mutakhir bagi anak dengan autisme adalah
inklusi, yaitu layanan pendidikan yang menyertakan semua anak, termasuk
anak-anak berkebutuhan khusus atau ABK, dalam proses pembelajaran yang
sama. Pendidikan inklusi berbeda dengan pendidikan
khusus anak berkebutuhan, di mana ABK dipisahkan dari siswa umum.
Jia Song, praktisi pendidikan inklusi dari Nonsang Naedong Elementary
School, Korea Selatan, mengatakan pendidikan inklusi adalah metode
pendidikan bagi ABK yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO). Di Korea, bibit pendidikan inklusi
dimulai pada 1998. "Awalnya, sebelum ada kurikulum, ABK diikutsertakan
dalam kegiatan kesejahteraan pendidikan," kata Jia di Pupa Center.
Metode itu berkembang dan menjadi sistem pendidikan yang wajib ada di
sekolah umum. Di Korea, sistem itu dibagi menjadi tiga tahap. Pertama,
kehadiran di kelas. Kedua, partisipasi siswa dalam kelas, termasuk
kegiatan praktek. Ketiga, akan terlihat hasilnya, yaitu ABK siap terjun
ke masyarakat umum. "Saat ABK belajar bersama, anak–anak akan bisa
menerima kehadiran temannya yang berbeda," ujar Jia.
Karena berada dalam satu atmosfer yang sama, guru umum-khususnya sekolah
dasar di Korea-juga dibekali pengetahuan tentang ABK. Mereka didampingi
asisten yang membantu penanganan siswa ABK bila siswa tersebut
mengalami gangguan kesehatan yang sifatnya kambuhan, misalnya pingsan
atau tantrum-menangis keras hingga berguling di tanah. Pendamping itu
disebut in-service teacher. Ada juga guru yang rutin memeriksa
kesehatan, nursing teacher. Guru ini juga bertugas mengawasi menu makan
dan memastikan ABK mengkonsumsi obat-obatannya tepat waktu.
Demi menjamin pengawasan, setiap guru dibatasi mengajar dua sampai tiga
ABK per kelas. Kurikulum diusahakan menyesuaikan kurikulum umum. Jia
menyebut "diusahakan" karena saat ini masih ada kelas yang menggunakan
metode setengah inklusi. Dalam metode setengah inklusi, ABK mengikuti
dua macam kelas. Pada waktu tertentu mengikuti kelas khusus dan lain
waktu kelas umum. "Sedangkan untuk metode inklusif penuh, ABK harus
mengikuti kelas umum secara penuh," kata dia.
Kandidat doktoral dari Korea University of Education itu menambahkan,
dalam kelas umum, ABK yang mengalami intellectual disability atau
ketidakmampuan secara intelektual bisa diikutsertakan. Karena itu, untuk
menyusun kurikulum pelajaran, orang tua, psikolog anak, dan guru selalu
diikutsertakan. Dalam program pelatihan, para guru mendapatkan materi
seperti instruksi mengajar individu dalam kelas khusus, terapi
pendukung, dan edukasi untuk mencegah pelecehan seksual, bullying,
serta anak hilang.
Menurut Jia, untuk mengantisipasi anak hilang, sekolah memakaikan siswa
berkebutuhan khusus gelang dengan cip detektor. Kepolisian juga punya
data anak-anak yang berkebutuhan khusus di masing-masing wilayah. "Basis
datanya diperoleh saat penyaringan anak masuk sekolah," Jia menuturkan.
Joko Yuwono, praktisi dan pemerhati pendidikan inklusi dari Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, mengatakan pendidikan inklusi sudah
diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009.
Aturan itu menyatakan seluruh sekolah di provinsi ataupun kabupaten/kota
wajib menyediakan pendidikan inklusi. Pendidik inklusi harus tersedia
di tingkat SD, SMP, dan SMA.
Namun, pada prakteknya, dia melanjutkan, masih banyak guru yang canggung
saat kedatangan ABK. "Mereka masih bingung mau ngapain," kata Joko.
No comments:
Post a Comment